Ngaben Sebagai Wujud Implementasi Upacara Pitra Yadnya
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ajaran agama Hindu memiliki kerangka yang
kuat, karena menampilkan Tatwa, Susila, dan Upakara. Tatwa mengisi kecerdasan
otak. Melatih memandang rahasia-rahasia yang dimiliki Tuhan,rahasia dalam diri,
serta rahasia dalam alam lingkungannya. Dengan demikian manusia atau umat Hindu
wajar berpikir sedalam-dalamnya tentang hal tersebut. Susila adalah menyuguhkan
ajaran untuk melatih tingkah laku yang berperan menumbuhkan peningkatan rasa
pada setiap pemeluk. Disinilah kemantapan dari humanisme yang kekal.
Masyarakat
Bali yang mayoritas adalah penganut agama Hindu, mempunyai suatu kepercayaan
yang tidak lepas dari kebudayaan bali. Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa
mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang diperlukan adanya
persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama Yadnya. Yadnya
termasuk ke dalam kerangka agama Hindu yang ketiga, yaitu Upacara. Disini
terdapat lima Yadnya yang selanjutnya dikenal dengan istilah Panca Yadnya,
yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas.
Adapun
bagian dari Panca Yadnya itu sendiri, yaitu Dewa Yadnya (korban suci yang
ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa), Pitra Yadnya (korban
suci yang ditujukan kepada leluhur untuk keselamatan bersama), Rsi Yadnya
(korban suci yang ditujukan kepada Rsi atau orang suci), Manusa Yadnya (korban
suci yang ditujukan kepada manusia untuk membersihkan lahir bathin dan
memelihara hidup manusia dari dalam kandungan sampai lahir ke dunia), dan Bhuta
Yadnya (korban suci yang ditujukan kepada Bhuta kala). Karena seperti yang kita
ketahui bahwa tidak banyak orang yang mengetahui makna, tujuan, tata cara
pengabenan dan mencari dewasa yang baik untuk melakukan upacara pengabenan,
maka dalam makalah ini, kami akan membahas lebih spesifik mengenai upacara
ngaben.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam
pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang kami
jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah
yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
- Apa pengertian dari Pitra Yadnya?
- Apa makna dan tujuan ngaben?
- Apa saja jenis-jenis pengabenan?
- Bagaimana rangkaian upacara pengabenan?
- Bagaimana hari baik (dewasa ayu) dan buruk melakukan pengabenan?
1.3 Tujuan
Dari
benrbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin
kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan
yaitu :
- Mengetahui pengertian dari Pitra Yadnya.
- Mengetahui makna dan tujuan ngaben.
- Mengetahui apa saja jenis-jenis pengabenan.
- Mengetahui rangkaian upacara pengabenan.
- Mengetahui hari (dewasa) baik dan buruk melakukan pengabenan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pitra Yadya
Pitra
Yadnya berasal dari dua kata yaitu “Pitra” yang berarti Bapak/ Ibu atau leluhur
yang terhormat (sinuhun). Dan kata “Yadnya” berarti penyaluran tenaga, sikap,
tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorbanan.
Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang
tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua
dan leluhur yang disebut Pitra Rna. Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat
mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus
dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
Sedangkan
menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara harfiah
terdiri dari dua kata yakni Pitra dan Yadnya. Pitra berarti orang tua (Ayah dan
Ibu) dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut leluhur. Sedangkan
Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus iklhas nan
suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati
yang tulus nan suci kepada leluhur terutama orang tua”. (Kaler,1993:3)
Secara epistemologis, pengertian Pitra Yadnya
muncul dari arti kata Pitra dan Yadnya. Dari beberapa sumber literatur,
diketemukan berbagai pemaknaan terhadap kata “pitra”. Singgih Wikarma (2002)
dalam bukunya Ngaben, menguraikan bahwa Pitra berasal dari
kata Pitr yang artinya leluhur, yadnya berasal dari
kataYaj berarti berkorban. Dari arti kata di atas, Pitra Yadnya berarti
bentuk pengorbanan suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas kepada para
leluhur. Di lain pihak Sudarsana (2002:9) menyebutkan bahwa “pitra” adalah sama
pengertiannya dengan arwah dan “pitra” berasal dari kata “pitri” yang artinya
unsur-unsur kekuatan Panca Maha Bhuta yang membentuk stula
sarira (jasad).
Terdapatnya perbedaan pengertian di atas, hal
ini karena menurut sumber acuan yang dipergunakan oleh masing-masing
penulisnya. Namun demikian esensi dari upacara ini masih tetap sama dimana pada
intinya pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan salah satu bentuk
pengorbanan suci (yadnya) yang diperuntukkan bagi roh, arwah para leluhur atau
orang-orang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, upacara ini merupakan
upaya untuk mempercepat proses pengembalian/penyucian unsur-unsur Panca Maha
Bhuta agar kembali ke sumbernya.
Dapat disimpulkan bahwa, Pitra Yadnya
merupakan upacara penyucian yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah
meninggal yang dilaksanakan melalui rangkaian upacara pengringkesan,
pengabenan, memukur hingga nilapati atau ngelinggihang.
Berkenaan dengan rangkaian upacara tersebut, salah satu aspek yang senantiasa
mengiringi pelaksanaannya adalah adanya gamelan yang berfungsi sebagai musik
pengiringnya.
Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari
berbagai sumber sastra yang berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana (2008:77-78)
disebutkan ada empat tingkatan yaitu mewangun, prenawa,
swasta dan ngerti parwa. Sesuai dengan situasi dan kondisi
pelaksanaannya, masing-masing dari tingkatan tersebut dibagi lagi sehingga
terdapat 10 bentuk pengabenan.
Upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan
dalam tingkatan nista, madya dan utama sesuai dengan kemampuan dalam memenuhi
berbagai persyaratannya. Pengabenan mewangun merupakan tingkatan
pengabenan tertinggi dimana pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan kuantitas
upacara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap menurut ketentuan
sastra agama Hindu (Sudarsana, 2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya
dilaksanakan bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, terhormat, pengaruh yang
luas di masyarakat, seperti raja dan golongan ksatria lainnya, pendeta,
pemangku desa. Pengabenan pranawa merupakan tingkatan upacara
pengabenan yang kuantitasnya lebih kecil dari mewangun namun memiliki kualitas
yang sama dan tergantung dari pelaksanannya. Berbagai kalangan (kedudukan dan
kasta) dapat melaksanakan upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai dengan
kemampuan dalam melaksanakannya. Sedangkan tingkatan upacara yang paling
sederhana adalah swastha dan ngerti parwa.
2.2 Makna dan
Tujuan Pengabenan
Makna Upacara Pengabenan :
Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan
acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara
tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya
Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan
keadaan.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga
yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam
Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan
untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan
roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak
saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak
terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak
ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh
menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang
arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk
sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan
pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon
kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak,
karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang
meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke
dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama
masih hidup.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk
anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam
waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini
memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering
dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan
kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam
satu kampung.
Sebelum acara puncak dilaksanakan,
seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa
semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya
siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke
kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan
“gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk
lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi
ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat
dan menjauhkannya dari jenasah.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa
setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan
(“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang
pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan
upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu”
dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang
dianggap suci.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa
pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari
clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra
peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan
pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak
menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang
menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu
memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading
untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut
adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur
dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan
keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati
lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang
mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya
seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia,
berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup
sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke
dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya.
Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan
leluhurnya.
Tujuan upacara pengabenan :
1.
Dengan membakar
jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut
memiliki tujuan untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
2.
Membakar jenazah
juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca
Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing
agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta
yaitu :
a.
Pertiwi : unsur
padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll
b.
Apah: unsur cair
yang membentuk darah, air liur, air mata, dll
c.
Bayu : unsur
udara yang membentuk napas.
d.
Teja : unsur
panas yang membentuk suhu tubuh.
e.
Akasa : unsur
ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa
pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
2.3 Jenis-Jenis
Pengabenan
Upacara
pengabenan di Bali tidak hanya memiliki satu jenis pengabenan melainkan ada
beberapa jenis pengabenan diantaranya :
1. Ngaben
Sawa Wedana
adalah
upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur
terlebih dahulu). Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari
terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi
pada upacara denga skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga
sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacra maka
jenazah akan diletakkan dib alai adat yang ada di masing-masing rumah dengan
pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini
pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah
masih ditaruh dibalai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya
seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan
disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian,dan lain-lain sebab sebelum
diadakan upacara yang disebut papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya
tidur dan masih berada di lingkungan keluarganya.
2. Ngaben
Asti Wedana
adalah
upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara
ini disertai dengan upacra ngagah, yaitu upacra menggali kembali kuburan dari
orang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa.
Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacra
tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara
kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan
setempat yang disebut dengan upacara Mangkisan ring Pertiwi (menitipkan di Ibu
Pertiwi).
3. Swasta
adalah
upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini
biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau
tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya
disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis
sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
4. Ngelungah
adalah
upacara untuk anak yang belum tanggal giginya.
5. Warak
Kruron
adalah
upacara untuk bayi yang keguguran
2.4 Rangkaian
Upacara Pengabenan
Acara
|
Deskripsi
|
Ngulapin
|
Upacara untuk
memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan
meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll).
Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada
yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
|
Nyiramin/Ngemandusin
|
Upacara memandikan dan
membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang
bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian
simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata,
daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan
kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya,
serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugerahi
badan yang lengkap (tidak cacat).
|
Ngajum Kajang
|
Kajang adalah selembar
kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta
atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan
keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang
dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati
para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat
sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam
selanjutnya.
Gambar Kajang Pande
|
Ngaskara
|
Ngaskara bermakna
penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang
bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing
kerabatnya yang masih hidup di dunia.
|
Mameras
|
Mameras berasal dari
kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini
dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan
cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma
baik yang mereka lakukan.
|
Papegatan
|
Papegatan berasal dari
kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan
hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut
akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak
keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat
yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun
pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang
dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon
tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung
jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
|
Pakiriman Ngutang
|
Setelah upacara
papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat,
jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara
pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan
keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota
masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi
oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat,
atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah
ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai
simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing.
Selain itu perputaran ini juga bermakna:
Berputar 3x di depan
rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x
di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan
masyarakat.
Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan
dunia ini.
Sarana Pengusungan Jenazah
|
Ngising
|
Ngising adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah
dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten
dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin
upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi
dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah
dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan
dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
|
Nganyud
|
Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala
kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa
menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau
sungai.
|
Makelud
|
Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran
jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali
lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan.
Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat
Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.
|
2.5 Hari Baik
(Dewasa Ayu) dan Hari Buruk Dalam Upacara Pengabenan
Dalam melakukan upacara pengabenan diperlukan
penentuan hari yang
baik untuk melakukan upacara tersebut agar terhindar dari
hal-hal yang tidak diinginkan.Pada hakekatnya saat
yang baik (dewasa) adalah merupakan refleksi dari adanya pengaruh alam besar
(Bhuana Agung) terhadap kehidupan alam kecil dengan alam besar itu. Adanya
pengaruh alam besar terhadap kehidupan manusia serta akibat dari pengaruh
saling berhubungan itu betul-betul diperhatika oleh setiap umat Hindu dalam
melakukan usaha terutama dalam melakukan upacara yadnya, dalam hal ini ngaben.
Bergeraknya matahari ke utara atau ke selatan dari bulatan bumi yang sesuai
dengan penglihatan manusia, seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa
pengaruh yang besar terhadap kehidupan di bumi, lahir bathin. Bergeraknya
matahari inilah yang menjadi patokan
pesasihan dalam ilmu wariga ini. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari
dewasa, khususnya dewasa ngaben sarat. Bila kita perhatikan keadaan sasih yang
disebabkan pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia)
maka akan terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk
upacara apa tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali.
Selain memperhatikan hari baik kita
juga harus memperhatikan hari yang harus dihindari dalam melakukan upacara
pengabenan. Adapun hari-hari yang harus dihindari antara lain :
1. Indik
Pedewasan Ngaben
Ada
hari yang biasanya dihindari dalam pengambilan dewasa atiwa-tiwa atau
pengabenan. Pelanggaran terhadap pengambilan dewasa dipercaya akan menimbulkan
hal-hal yang fatal dalam kehidupan sosial. Beberapa yang dihindari antara lain
:
a) Was
Penganten
Tidak boleh dipakai
hari penguburan dan ngaben. Pahalanya dapat mengakibatkan kematian berturut-turut
dalam satu banjar dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus-putusnya
kegeringan.
b) Semut
Sedulur
Tidak boleh juga
dipakai untuk penguburan. Pahalanya tidak putus-putusnya ada penguburan dalam
satu desa dan keluarga yang ditinggalkan tidak putus-putusnya menemukan
kesusahan.
c) Catus
Pemanggawan
Pada perhitungan, hari
ini tidak diperkenankan melakukan penguburan atau ngaben. Kasureksa De Betara
Yamadipati tan sida sang Pitra ngemangguhin swargania.
d) Kala
Gotongan
Tidak diperkenankan
karena sang Pitra tidak habis-habisnya menemui sengsara di alalm baka.
e) Hari
Purnama, Tilem, dan Piodalan
Tidak diperkenankan
karena hal ini disebut Amundung Kesucian Sang Hyang Siwa Butha, Sang Pitra tan
urungan kesinamberaning gelap sengsara kang pitra (lontar Yama Tatwa Wariga)
f) Pedewasan
Sajeroning Pitung Rahina
Kuru waktu 7 hari dari
meninggalnya, dapat dipakai salah satu harinya namun tetap melihat
larangan-larangan hari seperti di atas. Ternyata dalam kurun waktu 7 hari
tersebut ada yang dilarang asal tidak was penganten, masih bisa memakai hari
yang lain berkisar dalam 7 hari tersebut. Tetapi kalau larangan harinya lebih
dari satu dan kepepet, carikan pedewasan diluar perhitungan tujuh hari tersebut
(Lontar Aji Janantaka). Jika melaksanakan penguburan atau ngaben dalam kurun
waktu tersebut dari tidak ada larangan hari maka dewasa tersebut dikatakan
jalan Sang maninggal sangat utama sekali.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus
ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk
membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna.
3.1.2 Makna upacara Ngaben pada intinya
adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat
asalnya. Serta memiliki
tujuan untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga
dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam), mengembalikan
segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada
asalnya, dan upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah
ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
3.1.3 Ada 5 jenis pengabenan yang ada di Bali yaitu : ngaben
Sawa Wedana, Asti Wedana, Swasta, Ngelungah, dan Warak Kruron.
3.1.4 Ada beberapa
tata cara dalam melakukan upacara pengabenan yaitu : ngulapin,
nyiramin/ngemandusin, ngajum kajang, ngaskara, mameras, papegatan, pakiriman
ngutang, ngising, nganyud, makelud.
3.1.5 Dalam melakukan upacara pengabenan diperlukan
penentuan hari yang
baik untuk melakukan upacara tersebut agar terhindar dari
hal-hal yang tidak diinginkan. Bergeraknya matahari ke
utara atau ke selatan dari bulatan bumi yang sesuai dengan penglihatan manusia,
seperti dapat dilihat sepanjang tahun membawa pengaruh yang besar terhadap
kehidupan di bumi, lahir bathin. Bergeraknya matahari inilah yang menjadi patokan pesasihan dalam
ilmu wariga ini. Dan pesasihan merupakan dasar pokok dari dewasa, khususnya
dewasa ngaben sarat. Bila kita perhatikan keadaan sasih yang disebabkan
pergeseran matahari ke utara ke selatan (secara pandangan manusia) maka akan
terlihatlah bagian-bagian sasih-sasih itu serta kegunaannya untuk upacara apa
tepatnya, sesuai dengan petunjuk dalam lontar-lontar di Bali. Selain memperhatikan hari baik kita juga harus
memperhatikan hari yang harus dihindari dalam melakukan upacara pengabenan.
Adapun hari-hari yang harus dihindari antara lain : Was Penganten, Semut
Sedulur, Catus Pamanggawan, Kala Gotongan, Hari Purmana, Tilem, dan Piodalan,
Pedewasan Sajeroning Pitung Rahina.
DAFTAR
PUSTAKA
Arka,Dewa.”Upacara Adat Ngaben Umat Hindu Bali”.20
Oktober 2016
Senaya,”Pandewasan-Ala Ayuning Dewasa-Baik Buruknya
Hari”.20 Oktober 2016
Suastika,Wayan,”Makalah Agama Hndu Pitra Yadnya.20
Oktober 2016
Toni,Putu.”Pengertian dan Tujuang Ngaben”.20 Oktober
2016
Wikipedia,”Ngaben”.20
Oktober 2016
0 comments